Dewi
adalah sahabat saya, ia adalah seorang mahasiswi yang berotak
cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus,
sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang
terbaik di
bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not to
be the best?,” begitu ucapan yang kerap kali terdengar dari
mulutnya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.
Ketika
Kampus, mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di
Universiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya. Setelah
menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang
”selevel”; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. tak lama
berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka, anak pertamanya tersebut
lahir ketika Dewi diangkat manjadi staf diplomat, bertepatan dengan
suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.
Ketika
Bayu, berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor
burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota
lain, dan dari satu negara ke negara lain. Sebagai seorang sahabat
setulusnya saya pernah bertanya padanya, “Tidakkah si Bayu masih
terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya ?” Dengan
sigap Dewi menjawab, “Oh, saya sudah mengantisipasi segala
sesuatunya dengan sempurna”. “Everything is OK !, Don’t worry
Everything is under control kok !” begitulah selalu ucapannya,
penuh percaya diri.
Ucapannya
itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya, ditangani
secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol
jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak
yang tampak lincah, cerdas mandiri dan mudah mengerti. Kakek-neneknya
selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang
betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar Phd. dan nama besar,
tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah. “Contohlah
ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti jadilah seperti Bunda”.
Begitu selalu nenek Bayu, berpesan di akhir dongeng menjelang
tidurnya.
Ketika
Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu
minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya dirumah apa
bila ia merasa kesepian. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu,
Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan
mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu.
Lagi-lagi bocah kecil inipun mau ”memahami” orangtuanya.
Dengan
Bangga Dewi mengatakan bahwa kamu memang anak hebat, buktinya, kata
Dewi, kamu tak lagi merengek minta adik. Bayu, tampaknya mewarisi
karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri. Meski kedua
orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan,
tutur Dewi pada saya , Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan
penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku. Sungguh
keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super
sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orang tuanya.
Diam-diam, saya jadi sangat iri pada keluarga ini.
Suatu
hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak
dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh
Bundanya,” Bunda aku ingin mandi sama bunda…please. ..please
bunda”, pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap. Karuan saja
Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan merasa
gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan
Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan
kantornya. Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan
baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau
menurutinya, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa
ini terus berulang sampai hampir sepekan. “Bunda, mandikan aku !”
Ayo dong bunda mandikan aku sekali ini saja…?” kian lama suara
Bayu semakin penuh tekanan. Tapi toh, Dewi dan suaminya berpikir,
mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak
lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa
ditinggal juga dan mandi bersama Mbanya.
Sampai
suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter, “Bu,
hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang di
periksa di Ruang Emergency”.
Dewi,
ketika diberi tahu soal Bayu, sedang meresmikan kantor barunya di
Medan. Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD. Tapi
sayang… terlambat sudah…Tuhan sudah punya rencana lain. Bayu, si
malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh Tuhannya.. Terlihat Dewi
mengalami shock berat.
Setibanya
di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan
putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk
memandikannya, Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk suatu saat
memandikannya sendiri jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat
penting.
Dan
siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh
si kecil terbujur kaku. Ditengah para tetangga yang sedang melayat,
terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar berkata “Ini Bunda
Nak…., Hari ini Bunda mandikan Bayu ya…sayang. …! akhirnya
Bunda penuhi juga janji Bunda ya Nak..” . Lalu segera saja satu
demi satu orang-orang yang melayat dan berada di dekatnya tersebut
berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk
menahan tangis mereka.
Ketika
tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah
masih berdiri mematung di sisi pusara sang Malaikat Kecil. .
Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu, berkata kepada
rekan-rekan disekitanya, “Inikan sudah takdir, ya kan..!” Sama
saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah
saatnya di panggil, ya dia pergi juga, iya kan?”. Saya yang saat
itu tepat berada di sampingnya diam saja. Seolah-olah Dewi tak merasa
berduka dengan kepergian anaknya dan sepertinya ia juga tidak perlu
hiburan dari orang lain.
Sementara
di sebelah kanannya, Suaminya berdiri mematung seperti tak bernyawa.
Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata
yang mulai meleleh membasahi pipinya.
Sambil
menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, “Inilah
konsekuensi sebuah pilihan!” lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar
dan kuat. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk
hidung hingga ke tulang sumsum. Tak lama setelah itu tanpa di
duga-duga tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan
dirinya ke tanah tepat diatas pusara anaknya sambil berteriak-teriak
histeris.
“Bayu
maafkan Bunda ya sayaang..!!, ampuni bundamu ya nak…?”, serunya
berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ketanah, dan segera
terdengar tangis yang meledak-ledak dengan penuh berurai air mata
membanjiri tanah pusara putra tercintanya yang kini telah pergi untuk
selama-lamanya.
Sepanjang
persahabatan kami, rasanya baru kali ini saya menyaksikan Dewi
menangis dengan histeris seperti ini.
Lalu
terdengar lagi Dewi berteriak-teriak histeris.
“Bangunlah
Bayu sayaaangku.. ..Bangun Bayu cintaku, ayo bangun nak…..?!?”
pintanya berulang-ulang,
“Bunda
mau mandikan kamu sayang…. Tolong Beri kesempatan Bunda sekali saja
Nak…. Sekali ini saja, Bayu.. anakku…?”
Dewi
merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya
berkali-kali ke tanah lalu ia peluki dan ciumi pusara anaknya bak
orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras
membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.
Senja
semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat manusuk
hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa
yang menyayat hati ini…tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi
bubur, sesal kemudian tak berguna. Bayu tidak pernah mengetahui
bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya karena mereka merasa
bahwa banyak hal yang jauh lebih penting dari pada hanya sekedar
memandikan seorang anak.
Semoga
kisah ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua para orang
tua yang sering merasa hebat dan penting dengan segala kesibukannya.
0 komentar:
Posting Komentar